Minggu, 12 Juni 2011

(Pengaruh Suhu, Kelembaban dan Curah Hujan terhadap Perkembangan Plutella xylostella Linn.)

                                                                  PENDAHULUAN

Ulat daun kubis P. xylostella L. adalah salah satu hama penting pada tanaman kubiskubisan dan bersifat kosmopolitan. Serangan yang berat oleh hama ini dapat mengakibatkan tanaman kubis tidak dapat membentuk krop (Susniahti, 2005)
Dari hasil penelitian Sastrosiswojo (1986) dalam (Susniahti, 2005) yang dilakukan di Laboratorium, menunjukkan bahwa ulat P. xylostella instar tiga dan empat adalah yang paling merusak. Untuk mengatasi hama kubis, pada umumnya petani masih mengandalkan pada pengendalian secara kimiawi. penggunaan Insektisida oleh petani kubis di dataran tinggi sudah sangat intensif, dengan penyemprotan dilakukan secara terjadwal dan dosis yang tinggi. Aplikasi insektisida yang tidak bijaksana dapat menimbulkan dampak negatii yang tidak diinginkan seperti resistensi, resurgensi, munculnya hama sekunder, terbunuhnya jasad bukan sasaran, residu pestisida, dan pencemaran lingkungan.
Tanaman Inang dan Daerah Pencaran
Plutella xylostella (Lepidopera ; Plutellidae) adalah serangga yang bersifat oligophagus dan akan hidup pada tumbuhan yang mengandung mustard glucocidcs yang banyak terdapat pada famili Crucifera. Menurut Sastrosiswojo (1987), tanaman inang P. xylostella yang mempunyai arti ekonomi penting adalah dari genus Brassica Spp., diantaranya : Brassica olerceae var. Capitata L. (kubis), B. Oleraceae var. Botrytis L (kubis bunga), B. Chinensis L. (pak choy), B. junca L. (sawi), dll. Penyebarannya dapat terjadi tanpa disadari melalui praktek budidaya tanaman. Penyebaran P. Xylostella di Indonesia diduga ketika kubis mulai dibudidayakan di dataran tinggi oleh orang orang Belanda yang membawa masuk hama ini dari benua Eropa. Saat ini P.xylostella diduga telah terpencar luas di seluruh Nusantara (Susniahti, 2005).
Gejala Kerusakan
Larva yang baru menetas akan segera menggerek daun dan memakan jaringan daun sebelah bawah dengan meninggalkan lapisan epidermis bagian atas daun. Kerusakan dicirikan dengan adanya bercak-bercak berwarna putih yang tidak teratur yang lama kelamaan menjadi lubang pada serangan yang berat daunnya hingga tinggal kerangka saja. Gejala yang khas dan bekas gigitan yang tidak teratur tersebut umumnya lebih besar dari 0,5 cm (Aksi Agraris Kanisius, 1983) dalam (Mariani, 2002).
Ciri khas dari Plutella xylostella bila merasa ada bahaya akan menjatuhkan diri dengan mengeluarkan benang untuk menyelamatkan diri. Ulat bersembunyi di balik daun sambil makan, biasanya yang dimakan daging daun tetapi kulit ari (epidermis) bagian permukaan daun sebelah atas tidak dimakan hingga pada daun terlihat bercak-bercak putih. Apabila kulit ari kering maka akan sobek dan kelihatan lubang-lubang, apabila serangan hebat dapat saja hingga tertinggal hanya tulang daun seperti wayang kulit (Pracaya, 1997).
Pengrusakan tanaman oleh ulat-ulat ini dapat berlangsung selama pertumbuhan tanaman (Kartasapoetra, 1987).

ULAT DAUN (Plutella xylostella Linn.)

Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi dari serangga ini adalah sebagai berikut :
Filum : Arthopoda
Kelas : Insekta
Ordo : Lepidoptera
Famili : Plutellidae
Genus : Plutella
Species : Plutella xylostella Linn.
Serangga ini mengalami metamorfosa sempurna, kupu-kupu berwarna coklat keabu-abuan dengan tiga bintik segi empat berwarna putih pada sayap depan, sehingga dikenal sebagai “Diamond Back Moth” (Sudarmo, 1990).
Ulat ini sangat merusak daun pertanaman, ngengatnya berwarna coklat dengan panjang tubuh 5-9 mm. ngengat jantan lebih kecil daripada ngengat betina dengan warna yang agak cerah. Bentuk telur oval sedikit pipih, berwarna kuning cerah, diameter telur 0,25 mm dengan panjang 0,5 mm, telur diletakkan terpisah dalam suatu kelompok telur pada bagian bawah daun. Penetasan telur berkisar antara 3-5 hari (Sudarmo, 1990).
Stadia larva dari serangga ini terdiri atas empt instar. Instar pertama berwarna agak keruh dengan kepala berwarna hitam. Sekitar abdomen tampak rambut-rambut pendek dan halus. Panjang tubuh berkisar antara 0,75-0,5 mm dan lebar antara 0,15-0,19 mm. stadium dari instar pertama ini berkisar 1-2 hari. Instar kedua berwarna putih kekuningan, dangan cirri-ciri tubuh sama dengan instar pertama. Panjang tubuh instar kedua ini antara 1,73-2,93 mm dengan lebar berkisar antara 0,31-0,51 mm dengan lama stadium instar berkisar antara 1-2 hari. Instar ketiga berwarna hijau, dangan kepala berbecak coklat dengan bagian dasar kekuning-kuningan dan rambut-rambut hitam pada bagian abdomennya. Panjang tubuh berkisar antara 3,00-4,41 mm dengan lebar tubuh antara 0,44-0,68 mm. lama stadium larva pada instar ketiga ini berkisar antara 1-2 hari. Instar keempat mirip pada instar ketiga, kecuali ukuran tubuh yang tampak lebih besar, dengan panjang tubuh berkisar antara 6,45-7,79 mm dan lebarnya antara 0,83-1,20 mm. Stadium larva dari instar ini berkisar antara 2-3 hari, seluruh stadium larva serangga ini berlangsung antara 6-9 hari (Nurlaili, 1991) dalam (Santi, 2005).
Stadium pupa pada mulanya berwarna hijau kemudian akan berubah menjadi kekuning-kuningan dan akhirnya menjadi coklat. Mula-mula pupa dibentuk pada permukaan daun bagian bawah, terutama sekitar tulang-tulang daun dan terlindungi oleh kokon yang berbentuk jala, dengan panjang antara 5-6 mm dan dimeternya berkisar 0,83-1,20 mm. stadium ini berkisar antara 3-6 hari (Pracaya, 1991).

Pengaruh Suhu, Kelembaban dan Curah Hujan terhadap Perkembangan Plutella xylostella Linn.
Setiap serangga mempunyai kisaran suhu tertentu, dimana pada suhu terendah ataupun suhu tertinggi, serangga tersebut masih dapat bertahan hidup. Serangga di daerah tropis tidak tahan terhadap suhu rendah dibandingkan serangga yang hidup di daerah sub tropis, mendekati suhu minimum perkembangan serangga menjadi lambat walaupun serangga masih hidup, keadaan tersebut disebut diapauses (Anonim 1, 2010)
Serangga termasuk berdarah dingin, sehingga pertumbuhannya banyak dipengaruhi suhu lingkungannya. Di daerah - daerah beriklim dingin pertumbuhannya lambat, sedangkan di daerah tropik seperti di Indonesia pertumbuhan – pertumbuhan serangga relatif cepat. Dengan demikian banyaknya generasi yang terjadi di daerah beriklim panas lebih banyak daripada di daerah dingin (Anonim 1, 2010)

• Suhu
Suhu udara merupakan salah satu faktor penting dan berpengaruh pada kehidupan serangga dalam berbagai segi, antara lain terhadap aktivitas serangga, perkembangan dan pembiakkan. Tinggi rendahnya suhu berbanding lurus dengan intensita cahaya matahari. Serangga termasuk sebagai binatang berdarah dingin atau poikilothermal, oleh karena itu suhu badannya tidak tetap, naik turunnya mengikuti suhu lingkungan. Didalam suatu lingkungan suhu optimum, kecepatan proses metabolism serangga berbanding lurus dengan kenaikan suhu lingkungannya. Jadi apabila suhu naik proses metabolism serangga makin cepat, maka waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan perkembangannya makin pendek (Sunjaya, 1970) dalam (Raihana, 1994).
Kisaran suhu Plutella xylostella untuk perkembangannya adalah 10-40oC dengan suhu optimum adalah 17-25oC. (Pacaya, 1991).
• Kelembaban
Agar perkembangan serangga dapat berlangsung dengan baik, dibutuhkan tingkat kelembaban udara yang sesuai. Pengaruh kelembanab pada perkembangan serangga berbeda menurut kadar air tubuhnya. Bila kadar air dalam tubuh serangga bertahan pada taraf optimum, sedangkan kelembaban tinggi, maka proses metabolism serangga akan cepat dan perkembangannya jauh lebih pendek. Tetapi bila kadar air tubuhnya berkurang, kelembaban rendah maka akan menghambat proses metabolism yang berarti memperlambat perkembangannya (Sunjaya, 1970) dalam (Raihana, 1994).
Kelembaban optimum untuk perkembangan Plutella xylostella adalah 60-90% (Pacaya, 1991).
• Curah Hujan
Curah hujan berpengaruh pada pertumbuhan dan aktivitas serangga. Banyaknya jenis serangga berhunbungan langsung dengan keadaan kering maupun basah di daerah tertentu. Curah hujan juga berpengaruh pada siklus hidup Plutella xylostella, pada musim hujan lama stadia larva adalah berkisar 12-15 hari, sedangkan pada musim kemarau antara 7-10 hari. Lama stadia pupa pada musim hujan adalah 4-6 hari, sedangkan pada musim kemarau 4 hari (Pacaya, 1991).
Pada curah hujan tinggi, maka kehilangan hasil akibat serangan Plutella xylostella kurang dari 30%, tetapi bila ditanam pada musim kemarau kehilangan hasil dapat mencapai 100%. (Mizu,1989) dalam (Raihana, 1994).

PENGENDALIAN

Cara pemberantasan hama ini dapat dilakukan secara mekanis, yaitu mengumpulkan ulat-ulat dan telur-telurnya kemudian dihancurkan, perlakuan secara mekanis ini kurang efektif apabila dilakukan pada areal pertanaman yang luas. Pemberantasan juga dapt dilakukan dengan cara biologis yaitu dengan menyebarkan predator (musuh alami) diodegna atau parasit Angitia cerophaga (Cahyono, 2002) dalam (Sukorini,2003).
Cara lain yang cukup berhasil dan tidak menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan adalah cara kultur teknik, misalnya melakukan pergiliran (rotasi) tanaman yang bukan famili Cruciferae (Brassicaceae), tumpangsari tanaman kubis dengan tomat, bawang daun dan jagung serta penanaman tanaman perangkap (trap-crop) seperti Rape ataupun Mustard di sekeliling kebun kubis (Rukamana, 1994) dalam (Sukorini,2003).
Pengendalian dengan insektisida akan efektif apabila ditemukan populasi rata-rata lebih dari sartu larva per 10 tanaman atau intensitas serangan rata-rata lebih 40%. (Direktorat Jendral Pertanian Tanaman Pangan, 1989) dalam (Raihana, 1994).


PENUTUP

Kesimpulan
1. Ulat daun kubis P. xylostella L. adalah salah satu hama penting pada tanaman kubiskubisan dan bersifat kosmopolitan.
2. ulat P. xylostella instar tiga dan empat adalah yang paling merusak.
3. Kisaran suhu Plutella xylostella untuk perkembangannya adalah 10-40oC dengan suhu optimum adalah 17-25oC.
4. Kelembaban optimum untuk perkembangan Plutella xylostella adalah 60-90%.
5. Pada curah hujan tinggi, maka kehilangan hasil akibat serangan Plutella xylostella kurang dari 30%, tetapi bila ditanam pada musim kemarau kehilangan hasil dapat mencapai 100%.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim 1 . 2010. Serangga dan Lingkungan. Sumber : www. Serangga dan Lingkungan.blogspot.com di akses tanggal 27 Okkteber 2010.
Kalshoven, L. G. E. 1981. Pest of Crop in Indonesia. PT. Ichtiar Baru, Van Hoeve. Jakarta.
Kartasapoetra, A. G. 1987. Hama Tanaman Pangan dan Perkebunan. Bumi Aksara. Jakarta.
Mariani, Safrida. 2002. Efektifitas Beberapa Jenis Insektisida Nabati Terhadap Intensitas Serangan Ulat Pemakan Daun (plutella xylostella linn) pada Tanaman Bayam (amarantus tricolor l.) di Lapangan. Fakultas Pertanian. Unversitas Lambung Mangkurat. BANJARBARU.
Pracaya, 1991. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya. Jakarta.
Raihana. 1994. Pengaruh Jarak Tanan dalam Tumpangsari Sawi dengan Tomat Terhadap Serangan Ulat Daun Plutella xylostella Linn. Fakultas Pertanian. Unversitas Lambung Mangkurat. BANJARBARU.
Santi, Kelana. 2005. Efektifitas Tingkat Konsentrasi Pasta Kepayang (Pangium edule Rein W.) terhadap Mortalitas Ulat Plutella xylostella Linn. di Laboratorium. Fakultas Pertanian. Unversitas Lambung Mangkurat. BANJARBARU.
Sudarmo, S. 1990. Pengendalian serangga Hama Sayuran dan Palawija. Kanisius. Jakarta.
Sukorini, Henik. 2003. Pengaruh Pestisida Organik Dan Interval Penyemprotan Terhadap Hama Plutella Xylostella Pada Budidaya Tanaman Kubis Organik. Universitas Muhammadiyah. Malang. Diakses dari blogger.kebumen.info/.../penelitian-tentang-ulat-daun-pada-kubis.php.
Susniahti, Nenet. Dkk. 2005. Laporan Penelitian Pengujian Potensi Jamur Entomopatogen Paecylomices fumoso roseus Baoner Terhadap Ulat Daun Kubis Plutella xylostella L (Lepidoptera; Yponomeutidae). Fakultas Pertanian. Universitas Padjadjaran. Diakses dari blogger.kebumen.info/.../penelitian-tentang-ulat-daun-pada-kubis.php.








demontrasi cara pembuatan LETI (Letupan Emposan Tikus)

DEMONSTRASI PEMBUATAN LETI (Letupan Tikus) KHUSUSNYA TIKUS SAWAH (Ratus Argentiventer Rob & Kloss)







Oleh :
RABIATUL ADAWIYAH
E1B107205












FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2011


PENDAHULUAN


Latar Belakang


Tikus merupakan hama paling penting dibandingkan hama-hama dari golongan mamalia lainnya. Perkembangbiakan tikus amat cepat dan tanaman yang disukainya cukup banyak (padi, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar, tebu, kelapa, kepala sawit, dan lain-lain), serta menyerang tanpa mengenai tempat, sejak dipersemaian, pertanaman sampai di tempat penyimpanan. Tikus aktif menyerang tanaman pada malam hari. Tikus yang lapar akan memakan hampir semua benda yang dijumpainya. Bila makanan cukup tersedia, tikus akan memilih jenis tanaman yang paling disukai, seperti padi yang sedang bunting dan jagung muda. Pada saat makanan banyak tersedia, perkembangbiakan tikus berlangsung amat cepat ( Rukmana & Saputra, 1997).
Digolongkan sebagai hama karena merusak padi dengan mengerat hati pangkal batang muda, makan bunga dan buah padi. Di samping pada padi, tikus sawah ini juga menimbulkan kerusakan pada kelapa sawit dengan merusak semainya. ikus sawah merupakan hama utama penyebab kerusakan padi di Indonesia.(Litbang, 2009). Tikus sawah memakan semua stadia tanaman padi, tetapi bila ada kesempatan memilih maka ia akan memilih pada bunting dan padi menguning ( Rochman 1986 dalam Heiriyani, 1988).
Rata-rata tingkat kerusakan pada tanaman padi yang diakibatkan serangan hama tikus sawah mencapai 17% per tahun. Permasalahan ini antara lain disebabkan pengendalian tikus di tingkat petani dilakukan setelah terjadi serangan (karena lemahnya monitoring), sehingga penanganan hama tikus menjadi terlambat (Litbang, 2009).
Pengendalian tikus sawah terutama harus dilakukan pada saat populasi tikus masih rendah yaitu pada periode awal masa tanam, dengan sasaran menurunkan populasi tikus betina dewasa sebelum terjadi perkembangbiakan. Di samping itu, pengendalian tikus harus mencakup target areal yang luas dengan meperhatikan habitat perlindungan tikus pada masa bera diuar persawahan (BPTP Sumut, 2009).
Pemahaman petani mengenai informasi aspek dinamika populasi tikus, yang menjadi dasar dalam pengendalian juga masih kurang.  Kecenderungan petani masih kurang peduli dalam menyediakan sarana pengendalian tikus, organisasi pengendalian yang masih lemah, dan pelaksanaan pengendalian yang tidak berkelanjutan dapat mengakibatkan meningkatnya hama tikus sawah (Litbang, 2009). Tidak kalah penting adalah masih banyak petani yang mempunyai ”persepsi mistis”. Di lingkungan masyarakat Jawa, biasanya bila petani melihat tikus, tidak boleh menyebut tikus tetapi disebutnya ”den bagus”.  Padahal, pada hakekatnya hal tersebut dapat menghambat dalam usaha pengendalian tikus itu sendiri (Litbang, 2009).
Melihat kondisi di atas, maka perlu Pengendalian Hama dengan fumigasi atau pengemposan dengan asap beracun atau LETI(Letupan Empos Tikus). Cara ini dapat dilakukan dengan emposan tradisioanal pengemposan paling efektif pada stadia keluar malai dan pemasakan (padi stadium generatif), karena pada saat itu tikus sedang masa berkembangbiak dan banyak tinggal diliang. Apabila populasi tinggi pengemposan 2-4 minggu setelah panen dan menjelang pengolahan tanah memberikan hasil yang efektif.
 Memanfaatkan berbagai teknologi pengendalian yang sesuai dan tepat waktu. menurunkan populasi tikus serendah mungkin sebelum terjadi perkembangbiakan tikus dengan cepat (Litbang, 2009).
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui pembuatan LETI dan pengendalian hama tikus sawah di area persawahan.
TINJAUAN PUSTAKA

Padi telah lama dikenal orang dan dijadikan sebagai tanaman utama oleh penduduk dunia, terutama Indonesia. Produksi padi di Indonesia sangat fluktuatif. Ketajaman fluktuatif akan berdampak luas terhadap sistem tatanan Negara yang sebagian besar rakyatnya memilih padi sebagai makanan pokok. Padi juga dapat bersifat politis karena “cukup padi” berarti “cukup pangan”. Dalam Negara yang cukup pangan gejolak politik jarang terjadi (Suparyono dan Setyono, 1993).
Pentingnya padi sebagai sumber utama makanan pokok dan dalam perekonomian bangsa Indonesia tidak seorangpun yang menyangsikannya. Oleh karena itu setiap factor yang mempengaruhi tingkat produksinya sangat penting diperhatikan. Salah satu factor itu adalah hama dan penyakit (Harapan, 1995).
            Salah satu hama utama dan penyebab kerugian terbesar pada tanaman padi adalah tikus sawah (Ratuss argentiventer). Ini ditujukan dengan data yang menunjukan bahwa rata-rata luas serangan tikus setiap tahunnya di Indonesia (1989-1993) mencapai 116.743 hektar dengan intensitas 16,0 %. Sedangkan pada tahun 1994-1996, rata-rata luas serangan setiap tahun mencapai 107.291 hektar (Sudarmaji, 1997).
            Tikus sawah dapat menyerang semua stadia tanaman padi, mulai dari stadia persemaian sampai panen, dan tingkat kerusakan tanaman padi yang diakibatkannya bervariasi untuk tiap stadia tanaman. Tinggi rendahnya tingkat kerusakan pada tiap stadia tanaman tergantung dari tinggi rendahnya populasi yang ada dan juga olh nilai kandungan nutrisi dari masing-masing stadia tanaman. Karena tikus mempunyai kemampuan untuk memilih makanan yang paling disukai, distribusi kerusakan yang diakibatkan oleh jenis tikus ini dapat tersebar pada pertanaman padi beririgasi di dataran rendah, dataran tinggi dan pertanaman padi pasang surut (Murakami, 1992).
            LETI merupakan hasil inovasi dari Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru yang merupakan salah satu cara pengendalian tikus dengan pengemposan, sehingga leti khusus digunakan untuk mengendaliakan tikus persawahan yang membuat lubang.
Pelaksanaan
Waktu dan Tempat
Praktek Kerja Lapang (PKL) ini dilaksanakan didesa Telaga Langsat, Kecamatan Takisung, Kabupaten Tanah Laut. Pada hari sabtu tanggal 5-6 Maret 2011.
Peserta
Bahan dan Alat
Bahan
            Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan leti adalah 1 kg arang dan 1 kg sendawa (garam inggris), karton untuk selongsongan (tempat bahan emposan), spidol, lem kertas, tali nilon, dan benang genderan/sumbu.
Alat
            alat-alat yang digunakan adalah kompor, wajan, sutil, lesung, ayakan, mangkuk plastik.
Prosedur kerja
a.       Pertama-tama tumbuk belerang, arang sampai halus kemudian saring dengan saringan. Sisa hasil saringan (yang masih kasar) dihaluskan lagi dan kemudian disaring.
b.      Potong benang genderan sepanjang ± 10 cm yang akan digunakan untuk sumbu letupan.
c.       Kemudian panaskan air secukupnya di dalam wajan, setelah mendidih masukkan sendawa atau garam inggris. Aduk terus sampai mencair.
d.      Kemudian masukkan belerang dan arang yang sudah halus ke dalam wajan yang telah berisi larutan garam inggris dan aduk sampai tercampur merata.
e.       Setelah itu angkat, letakkan di atas karung dan jemur di bawah sinar matahari. Sisakan secukupnya untuk memasak sumbu dari benang genderan.
f.       Masukkan benang genderan ke dalam sisa adonan leti yang masih ada di wajan, aduk terus dan usahakan seluruh benang merata tertutupi oleh adonan dan setelah merata, angkat kemudian jemur.
g.      Setelah adonan kering, siap digunakan.
h.      Sebelum digunakan, terlebih dahulu potong kertas karton sepanjang spidol besar.
i.        Kemudian buat tabung dan bagian bawahnya di lem.
j.        Masukkan adonan yang sudah kering tadi kedalam tabung karton menggunakan sendok dan sumbunya sambil dipadatkan dengan menggunakan kawat sepeda. Pengisian harus benar-benar padat agar asap yang dihasilkan pada saat pengaplikasian akan keluar banyak. Apabila tidak padat, maka asap yang keluar akan sedikit dan yang keluar banyak adalah percikan api seperti mercon.
k.      Lalu tutup bagian atas tabung kertas.
l.        Sisakan sumbunya sedikit untuk memudahkan dalam membakarnya.
m.    Leti siap digunakan membasmi tikus yang berada di dalam lubang.

Cara Aplikasinya
1.      LETI digunakan untuk mengendalikan tikus yang sudah memasuki masa berkembangbiak (fase generatif padi), dimana tikus saat itu banyak tinggal di liang-liang.
2.      Caranya dengan menyalakan LETI dan meletakkannya di dalam lubang-lubang aktif yang dapat diketahui dari adanya jejak kaki atau adanya tanah-tanah masih beru/basah di dekat lubang atau adanya kotoran tikus.
3.      Lubang-lubang itu kemudian ditutup dan dibiarkan hingga semua bahan emposan telah habis dibakar

HASIL KEGIATAN
Foto-foto kegiatan PKL, cara pembuatan LETI

DAFTAR PUSTAKA

BPTP Sumut. 2009. Prodent. Sumber : http://www.pustaka-deptan.go.id/agritek/smut0901.pdf (diakses tanggal 16 Nopember 2009).
Heiriyani, T. 1988. Preferensi Tikus Sawah (Rattus  argentiventer  Rob % Kross) Terhadap Beberapa Jenis Umpan dan Umpan Beracun di Laboratorium. Skripsi. Fakultas Pertanian UNLAM. Banjarbaru.
Harapan, I.S. dan Budi Tjahjono. 1995. Pengendalian Hama dan Penyakit Padi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Litbang. 2009. Kendalikan Tikus dengan PHTT. Sumber : http://www.litbang.deptan.go.id/berita/one/580/ (diakses tanggal 16 Nopember 2009).
Mukarami, O., V. L. Tjandra Kirana, Joko Priyono, Harsiwi, Trisiani, Yadi Kusmayadi, Ecen Tarsan, Samsu, Syahrul Rohman, Rasimum dan Ketut Suarsana. 1992. Tikus Sawah. Kerjasama Teknis Indonesia-Jepang Bidang Perlindungan Tanaman. Direktorat Jendral Pertanian Tanaman Pangan
Rukmana, R & Saputra US. 1997. Hama Tanaman dan teknik Penegndalian.  Kanisius. Yogyakarta
Sudarmaji. 1986. Dinamika Populasi Untuk Menunjang Pengendalian Tikus Pada Padi Tanaman Pindah dan Tabela. Penelitian Pertanian. Bandung.
Suparyono dan Agus Setyono. 1933. Padi. Penebar Swadaya. Jakarta.